Pages

topbella

Minggu, 09 Juni 2013

Non-Kependidikan Bisa Menjadi Guru, Mengapa?

Ketika membaca sebuah atikel pada bulan April lalu di koran online yang menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sarjana non pendidikan bisa menjadi guru setelah menolak pengujian pasal 9 UU no 14 tahun 2005. Keputusan itu sangat menyakiti alumni dan mahasiswa keguruan dan ilmu pendidikan atau lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK). Pasal 9 berbunyi “kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”. Pasal sembilan inilah yang  memunculkan peluang besar bagi alumni berijazah nonkependidikan untuk “merambah” wilayah kerja alumni berijazah kependidikan .

Dalam pertimbangannya, mahkamah menyatakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang juga sebagai dasar pengujian dalam permohonan pengujian UU Guru dan Dosen menentukan "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.". Hakim Mahkamaah Kontitusi Muhammad Alim mengatakan bahwa setiap orang boleh diangkat menjadi guru, atau pekerjaan apa saja demi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Karena hal itu berarti bahwa selain persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, juga perlakuan yang sama di hadapan hukum,".
Pengujian UU Guru dan Dosen ini dimohonkan oleh tujuh orang mahasiswa dari universitas berlatar belakang kependidikan, yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M Khoirur Rosyid, dan Siswanto.  Mereka menilai telah menimbulkan ketidakadilan bagi sarjana lulusan universitas berlatar pendidikan untuk dapat berprofesi sebagai guru sebab aturan itu membolehkan sarjana nonkependidikan untuk diangkat menjadi guru.  Sangat disayangkan dan terasa sangat tidak adil bagi alumni sarjana lembaga pendidikan tenaga kependidikan karena dengan keputusan tersebut maka lapangan kerja bagi alumni berijazah sarjana kependidikan akan semakin sempit. Mahkamah Konstitusi mungkin menyangka bahwa untuk menjadi guru semua orang berijazah strata satu maupun diploma empat bisa melakukannya.
Tetapi harus dipahami bahwa untuk menjadi guru profesional diperlukan persiapan sejak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Guru profesional tidak hanya telah terferifikasi ataupun telah mendapat pengakuan secara formal maupun informal, pengakuan ini dinyatakan dengan ijazah, akta, sertifikat dsb. Tetapi mampu melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan pengabdian diri kepada pihak lain, dan ini sesuai dengan RUU Guru pasal 1 ayat 4. Pada perguruan tinggi yang berlatar belakang pendidikan, tentunya telah diajarkan bagaimana cara mengajar dan mengendalikan peserta didik didalam kelas. Dan itulah yang menjadi perbedaan yang mendasar antara sarjana pendidikan dengan non-pendidikan, karena selama ini menempuh pendidikan di perguruan non pendidikan tidak diajarkan cara mengajar dan mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Dan sarjana pendidikan memang disiapkan untuk  menjadi guru profesional. Sarjana non-kependidikan mungkin ahli dalam bidangnya, tetapi yang perlu ditegaskan ia tak mempunyai disiplin ilmu yang dimilik sarjana pendidikan.
Dan pada saat sekarang kehidupan seorang guru sudah dipandang dengan kehidupan yang layak dengan adanya sertifikasi guru atau yang dikenal dengan PLPG. Jika ada yang mengatakan “ Rezeki sudah Allah yang mengatur jadi tak perlu takut jika kamu tidak menjadi guru”, seolah-olah kalimat ini menyatakan takut rezekinya seorang sarjana pendidikan akan diambil oleh sarjana non pendidikan, bukan seperti itu. Tetapi karena dunia pendidikan yang sudah lama terpuruk akibatnya karena banyak guru yang tidak menguasai bidangnya, disebabkan banyak orang-orang berlomba untuk mengikuti tes menjadi guru karena adanya peluang. Sehingga esensi mengajar ataupun mendidik peserta didik sesuai dengan bidangnya terlupakan.
Guru bukanlah profesi yang main-main hanya menyampaikan materi yang ada didalam buku, tetapi bagaimana mentransfer pengetahuan yang ia punya kepada peserta didik. Menurut Fauzil Adhim artikelnya yang berjudul Jangan remehkan Dakwah Kepada Anak – Anak menyatakan pendidikan bukanlah sekedar belajar berhitung melainkan juga untuk menyiapkan generasi 30 tahun mendatang yang akan menggantikan generasi sebelumnya dan semua itu adalah tugas guru. Begitu juga dengan memperbaiki pendidikan di negara ini diperlukan guru yang memang menguasai bidangnya dalam hal pendidikan selain menguasai bidangnya yang tertera didalam ijazah.

Saya sebagai calon guru yang berlatar belakang pendidikan sangat berharap banyak pemerintah dapat lebih bijak lagi dalam pembaharuan pendidikan Indonesia, tidak hanya mensejahterakan rakyat dengan menerima begitu saja sarjana non-pendidikan menjadi guru, tetapi juga harus mencerdaskan bangsa dengan selektif memilih guru dengan memasukkan materi dasar tentang ilmu pendidikan dan praktik mengajar , karena guru profesional yang akan mendidik bangsa ini dengan ilmu yang memang sudah dipersiapkan sejak dibangku kuliah.




Erika hime~ 

4 komentar:

  1. cuma kasih masukan kak, menurut saya memang sebetulnya yg non kependidikan juga punya hak yang sama untuk merambah ke bidang pendidikan seperti layaknya sarjana kependidikan ekonomi yang bekerja pada dunia perbankan, apakah dia mengambil lapangan kerja sarjana non-kependidikan ekonomi? saya rasa tidak, karena dunia kerja itu dunia persaingan, siapa yang mampu dan cakap dalam bidang tersebut maka dia yang akan memberikan hasil kerja terbaik, jadi tidak menutup kesempaatan sarjana pendidikan yg memiliki kemampuan dibidang non-kependidikan begitu juga tidak menutup kesempatan sajaran non-kependidikan yang ternyata memiliki kemampuan yang lebih dibidang pendidikan daripada sarjana pendidikan

    kalau untuk masalah"mengajar itu merupakan transfer ilmu dan orang-orang pendidikan belajar bagaimana cara mentransfer ilmu itu sedangkan non-kependidikan itu tidak mempelajarinya" kita tau bersama kan kak? mengajar itu terkadang bakat, faktanya di daerah kita ada sarjana pendidikan yang belum mampu mentransfer ilmunya kepada muridnya, sedangkan ada juga sarjana non-kependidikan yang tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu mengajar tapi mampu mentransfernya, karena terkadang ilmu menjadi guru itu bakat kak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. begini de memang zaman sekarang siapa cepat dia yg dapat, ya memang dunia kerja adalah dunia persaingan.. memang tidak menutup kemungkinan alumni ekonomi bisa masuk pada perbankan, karena disiplin ilmunya hampir sama , beda dengan pendidikan dengan non pendidikan, itu sudah sangat jelas disiplin ilmunya sangat berbeda jauh walaupun mungkin jurusan yg diambil hampir sama, sekarang kk tanya , apakah ade yg sastra belajar psikologi anak didik juga?? mengajar memang suatu bakat, dan tidak menutup kemungkinan juga yg sarjana pendidikan"gagal mengajar" tapi itu tidak semua sama dengan sastra, maksud kk menulis begini dengan adanya pendidikan yang amburadul di indonesia menghimbau agar sarjana pendidikan itu lebih diutamakan ketika menjadi guru ketimbang non-pendidikan, tu akhir kata2 kk diatas minta ada tes mengajar dan materi-materi tentang pendidikan.

      bukan masalah bisa atau tidak bisa mengajar ataupun hanya mentransfer ilmu, semua org bisa mengelakukannya dik. tapi membuat siswa paham dan mengerti siswa dalam belajarnya juga ada ilmunya. semua sudah ada jalannya masing-masing . jika memang dari awal memang ingin menjadi guru jganah kuliah sastra atau ilmu murninya, ambil yang pendidikan, seperti orang yang ga tau obat-obatan pas kita sakit terus dikasi obat, emang ade mau minum? ga kan, malah bahaya, begitu juga dengan mendidik ... setidaknya yang punya ilmunya didahulukanlah. karena dia paham walaupun tidak menyeluruh.(bagi orang2 tertentu)

      yang kk tegaskan disini de, adalah cara mendidik atau mengajarkan ilmunya dengan disiplin ilmu yang dipunya, ..
      bukan masalah mengajar adalah suatu bakat. . jika memang sarjana pendidikan tidak bakat mengajar tapi setidaknya dia punya sesuatu yang bisa mengarahkan org lain dengan pemikirannya tentang pendidikan. karena dia punya ilmunya.

      Hapus
  2. saya setuju dengan artikel diatas... dan menurut pengalaman saya... jarang lembaga non kependidikan menerima dengan gelar S.Pd. saya sudah membuktikannya... jadi bingung sekarang mau gimana. kalau dibilang rugi ya gimana , kalau tidak didbilang rugi ya kita yang S.Pd. jelas hal tersebut membuat kita rugi...
    pernah ada usulan jangan ada yang buka pendidikan... murnikan aja semuanya.. itu lebih fair..
    ini bukan masalah keadilan.. ini juga bukan masalah hak dan kewajiban.. ini masalah konsekwensi... jika kuliah di non kependidikan konsekwensinya ya kerja di selain guru... saya hanya bisa menyimpulkan .. ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI

    BalasHapus
    Balasan
    1. secara logikanya disiplin ilmunya saja sudah beda. betul saya setuju juga ini masalah konsekwensi... :) begitulah negeri kita

      Hapus

Tinggalkan Jejak Anda ^^

About Me